30 April 2008

"SARUNG"

ADA cerita yang diragukan kebenarannya, tentang seorang pemuda Sarjana Hukum (SH) setelah lulus kuliah memilih hidup di sebuah kampung paling pelosok, terisolasi, terkucil dan terpencil. Dia satu-satunya sarjana yang ada di situ, mantan aktivis kampus terkenal dan disegani. Kesibukannya kini hanya membuka warung kelontong di tengah kampung warisan bapaknya, tetapi dia bisa cepat kaya raya dan hartanya berlimpah ruah. Karena gelarnya, dia sangat dihormati, sering dimintai pendapatnya, bahkan gaya hidupnya banyak ditiru orang kampung. Misalnya, yang dulunya dia tidak suka pakai “Sarung”, kini sepanjang hari menggunakannya. Tidak ada yang tahu alasan mengapa dia suka sekali pakai sarung. Tetangganya hanya tahu, setelah dia pakai sarung, hidupnya menjadi makmur dan hartanya berlimpah ruah.
Pada suatu sore, dia didatangi sekelompok pemuda-pemudi kampung yang kesemuanya pakai sarung. Diluar dugaan, mereka mengaku sangat bangga memakai sarung seperti sekarang ini dan berharap bisa ikut cepat kaya raya. Aparat desa seperti Pak RT, Pak RW, Pak Kadus, Pak Lurah dan Pak Kades berang melihat banyak warganya pakai sarung. Dipanggillah si penyebar pertama wabah sarung ini untuk menghadap. Setelah menerima penjelasan soal sarung, akhirnya para aparat desa luluh hatinya. Memakai sarung ternyata enak dan dia memutuskan untuk ikut-ikutan bersarung, siapa tahu bisa segera hidup makmur. Sampailah pada saatnya semua warga di kampung memakai sarung, tak peduli tua, muda, laki-laki, perempuan, anak-anak, bahkan kakek-kakek dan nenek-nenek yang sudah bau tanah pun pakai sarung. “Sarung” mewabah di kampung kecil itu.
Pak Camat setelah menerima laporan, tengsin berat dan memanggil Kadesnya untuk dimintai keterangannya soal wabah nyleneh itu. Pak Kades menghadap camat dengan sarungnya. Anehnya, Pak Camat malah terpesona dan melupakan amarahnya dan ikut tergila-gila pakai sarung sembari berharap segera banyak harta. Pak Bupati yang sudah mengetahui wabah kurang patut ini juga murka di ruang kerjanya yang dingin ber-AC. Camat dipanggil untuk menghadap guna diintrogasi. Tetapi setelah camatnya menghadap pakai sarung, Pak Bupati terpesona dan akhirnya tertular pakai sarung sambil berharap kekayaannya kian bertambah. Pak Gubernur awalnya uring-uringan, ikut-ikutan pakai sarung juga setelah melihat penampilan bupatinya menghadap pakai sarung, orientasinya ingin hartanya tak terhitung. Terakhir, walaupun Pak Presiden sempat ngerusing, tapi melihat para menteri, pejabat negara dan seluruh rakyat di negarnya semua pakai sarung, akhirnya dia pun mengiyakan pakai sarung, dengan harapan pundi-pundi kekayaannya menggunung tak habis dimakan tujuh turunan. Secara nasional, sarung telah menyebar di semua lini akibat hukum yang berlaku di negara itu tak jelas dan tak tegas soal “Sarung”. Mungkin konotasinya, hampir sama persisnya dengan wabah korupsi dan penegakkan hukum dewasa ini.

Tidak ada komentar: