07 Agustus 2010

Gelandangan

“I love those whose soul is deep, even in being wounded. I love those who are as heavy drops, falloing one by one out of the dark cloud that hangs over men. They herald the advent of lighting, and herald they perish”. (Fredrich Wilhelm Nietzshe (1844-1900), Dalam Bukunya Ecce Homo)

ARTINYA kurang lebih: “Aku cinta mereka yang jiwanya dalam, sekalipun sedang disakiti. Aku cinta mereka yang jiwanya merdeka dan hatinya pun bebas. Aku cinta mereka seperti tetesan embun yang berat, jatuh satu demi satu dari mendung yang memayungi manusia. Mereka itu memaklumkan akan tibanya halilintar, dan sebagai pembawa maklumat, mereka pun sirna”.
Entah ada atau tidak kaitannya dengan cerita di bawah ini, tapi bermula ketika beberapa anak gelandangan berkumpul di sudut pasar sambil mengobrol serius menceritakan latar belakangnya masing-masing hingga menjadi gelandangan. Seorang anak bercerita, bahwa gara-gara orang tuanya bercerai, dia pun terlantar dan menjadi gelandangan. Yang satunya lagi turut bercerita, gara-gara ibunya seorang wanita tuna susila (WTS), bapaknya pemabuk kelas berat, pencuri dan suka main perempuan, dia minggat dari rumah dan memilih menjadi gelandangan. Seorang anak lagi menyambung, keluarganya sangat miskin dan saudaranya berjumlah 7 orang, dan bapaknya jadi pengangguran sejak kecelakaan kerja beberapa tahun lalu, dan dia memilih meninggalkan rumah untuk menjadi gelandangan.
Sementara itu anak terakhir bercerita, bahwa sebenarnya ia berasal dari keluarga yang kaya raya dan terpandang. Bapaknya seorang pejabat penting dan ibunya seorang pengusaha sukses yang gemar arisan di sana-sini. Tapi sejak bergulirnya era reforrmasi yang dijalankan dengan benar, kedua orang tuanya harus berurusan dengan pihak yang berwajib, dan pengadilan memutusakan bersalah. Akibatnya, bapaknya masuk sel dan ibunya gila.(***)

Tidak ada komentar: