07 Agustus 2010

Pornografi



“Jika suara hati seseorang berbisik, tandanya orang itu telah melakukan perbuatan buruk”.(Eugene Ianesco)

KETIKA televise pertontonkan tubuh-tubuh berpakaian mini nyaris bugil, berlenggak-lenggok pamer aurat, dianggap bisa mengundang fantasi birahi. Demikian juga dengan majalah, koran dan tabloid, tak jarang juga menjual keseksian dengan dalih artistic. Mereka marah besar kalau dibilang mengusung pornografi dan pornoaksi.
Dalam kehidupan sehari-hari, ternyata banyak perempuan yang bangga kalau disebut seksi. Bangga mempertontonkan daging-daging yang menempel di tubuhnya. Bahkan, dari waktu ke waktu, mereka makin kreatif saja. Bagian-bagian tubuh yang selama ini terpenjarakan, kini mulai dimerdekakan. Lihatlah acara anak-anak di televise yang mengajarkan generasi bau kencur itu untuk berlenggok-lenggok memamerkan aurat. Lirik-lirik lagu yang dibawakannya pun sebenarnya hanya pantas untuk orang dewasa. Mereka telah menjadi dewasa sebelum waktunya. Bunga-bunga itu mekar sebelum saatnya.
(Maaf) Daging, udel, bokong dan kulit mulus itu, kini melesat keluar dari dalam pakaian yang menyekapnya dengan dalih tuntutan fashion jaman modern. Di mal-mal, banyak udel dan bokong berserakan. Pakaian yang mereka kenakan justru untuk mempertegas penelanjangannya. Benarkah fenomena ini wujud dari tuntutan fashion modern? Di jaman pra sejarah, orang tidak mengenakan pakaian dan auratnya diumbar kemana-mana. Jika sekarang orang kembali mengumbar auratnya, berarti orang itu kembali ke era pra sejarah.
Saya akan bercerita tentang seorang seniman yang sedang melukis gambar cewek telanjang di atas kanvasnya. Seseorang melihat lukisan itu dan menegurnya karena lukisan itu dinilainya porno. Tapi si pelukis menjawab, “Oh, lukisan ini bukanlah porno, tapi wujud eksistensi dari seni dan keindahan” tangkisnya.
Namun, ketika seniman itu disuruh melukis gambar ibunya, atau saudara perempuannya dengan pose telanjang juga, dia menolak mentah-mentah. “Anda jangan gila, Bung. Saya tak mungkin melakukannya, karena saya masih punya moral,” katanya dengan nada emosi. Nah, lho.(***)

Tidak ada komentar: