07 Agustus 2010

Saya Anak Pejabat

“Sang tuan akhirnya percaya bahwa dia seorang tuan. Si budak akhirnya percaya bahwa dia seorang budak. Padahal mereka adalah manusia…”(Ehma Ainun Nadjib)

SAYA terlahir bukan sebagai anak pejabat teras di negeri ini. Saya hanya anak petani sederhana dengan kedua orang tua tak lulus SD. Tapi, ijinkanlah saya menghayal, seandainya saya adalah anak seorang pejabat gedean.
Seandainya saya anak pejabat, bawahan bapak saya adalah bawahan saya juga. Mereka akan bersikap sopan, tunduk dan welas asih kepada saya. Saya bisa memerintah mereka untuk melakukan sesuatu hal untuk saya. Dengan mudah, saya bisa berbuat banyak hal terhadap bawahan bapak saya. Orang-orang kepercayaan yang biasa disebut ajudan atau tangan kanan bapak saya, otomatis adalah asisten saya juga.
Karena saya adalah anak pejabat terhormat, berarti bukan warga negara biasa pada umumnya dan pantas untuk mendapatkan perlakuan serba khusus. Perlakuan yang juga diterima oleh anak pejabat seperti bapak saya sebelumnya. Hidup nyaman, mudah mendapatkan fasilitas-fasilitas mewah, banyak uang dan masa depan terjamin. Walaupun saya termasuk siswa berotak bego, tapi nilai rata-rata di buku rapor tetap bagus-bagus.
Sebagai anak pejabat besar, saya akhirnya memiliki semacam ilmu kebal. Kebal terhadap penyakit, karena dokter-dokter menyayangi saya karena mereka sangat segan kepada bapak saya. Kebal terhadap hukum, karena setiap saya melakukan tipiring (tindak pidana ringan), bapak saya dan ajudannya langsung menjemput saya di Kantor Polisi setelah ditelpon. Saya juga banyak digemari cewek-cewek, meskipun raut muka saya tidaklah tampan mempesona, bahkan cukup untuk membuat mual isi perut. Saya bisa kebut-kebutan di jalanan kota dengan motor gede atau mobil mewah pemberian kolega bapak saya, tanpa khawatir ditilang Polisi.
Saya merasa seperti putra mahkota sebuah kerajaan. Tidak ada yang berani mengusik, apalagi coba-coba cari masalah dan berurusan dengan saya. Tak ada satupun orang yang berani menentang kehendak saya. Karena, saya adalah anak pejabat terhormat.
Namun, faktanya saya hanyalah anak seorang petani piggiran yang memiliki sawah sepetak kecil, tidak pernah dipupuk dan sering diserang hama pula. Pingin sekolah hingga ke perguruan tinggi, ongkosnya mahal mencekik. Jika sakit, saya cukup pergi ke Mbah Brewok dukun yang tinggal di ujung kampung dekat kuburan keramat untuk minta air penawar. Pingin baju baru, saya harus menunggu datangnya hari raya. Mau makan enak, saya harus menunggu ada panggilan selamatan tetangga. Kalau mau beli motor, mungkin saya harus menjual tanah kuburan. Just Kidding.(***)

Tidak ada komentar: