15 Juli 2010

K O N D O M

“Orang yang bernyali kecil takut sebelum bahaya datang. Orang pengecut takut di saat bahaya datang. Orang bijaksana takut setelah bahaya lewat”.(Jean Paul Richter)

BAGI para hidung belang yang gemar mengunjungi lokalisasi dan tempat-tempat pelacuran, mengaku tidak pernah lupa berbekal kondom. Bahkan, konon para peramu nikmat malah ada yang menyediakan kondom untuk para pelanggannya.
Menurut orang pintar, para hidung belang yang selalu membekali dirinya dengan kondom saat akan “jajan”, adalah bentuk dari kemiskinan informasi, sekaligus miskin untuk tidak melakukan kemaksiatan atau zina. Sebab, wajib bagi kita untuk mendorong melenyapkan sarana dan prasarana pemicu melakukan perbuatan itu. Memang banyak alasan orang untuk “jajan” di luar, walaupun “orang rumah” lebih baik, bersih, sehat dan penuh cinta kasih tanpa pamrih dan gratis lagi.
Yang dimaksud dengan miskin informasi ini adalah, masih banyak orang yang tidak menyadari bila kondom tidak bisa menjamin 100 persen terhindar dari ancaman virus HIV/AIDS dan penyakit kelamin lainnya. Kondom hanya membantu mengurangi resiko, yang seharusnya disosialisasikan oleh para produsennya. Sebab, konon virus HIV bisa menular lewat air liur ciuman bibir, dan oral seks. Sementara itu belum pernah terjadi mulut orang dibungkus pakai kondom. Bukankah kondom untuk mulut belum diciptakan?
Jadi ada yang menganggap, kalau ada di antara kita yang merasa aman jajan di luar karena menggunakan kondom, berarti dia telah tersesatkan. Sebab, mentang-mentang aman, lalu aktivitas perzinahan meningkat tajam. Ketika beraksi, para pezina suka lupa daratan dan lupa segalanya. Logika sederhananya, jika imannya saja copot, apalagi kondomnya. Just Kidding.(***)

10.000

“Reputasi yang rusak dapat saja diperbaiki, namun dunia akan selalu melihat titik dimana reputasi itu pernah rusak”.(Joseph Hall)

DI SEBUAH kawasan yang memang diperuntukkan bagi daerah peternakan, seorang pengusaha mencapai kesuksesan dalam beternak sapi. Pada suatu hari datanglah seorang petugas pemerintah yang ingin mengetahui rahasia kesuksesannya itu. Terjadilah dialog di antara keduanya.
“Bagaimana sapi-sapimu diberi makan sehingga menjadi gemuk dan sehat-sehat seperti ini?” tanya petugas.
“Selain saya beri rumput khusus, juga diberi suplemen dalam dosis besar untuk merangsang pertumbuhannya,” jawab peternak serius.
“Wah itu tidak boleh. Menurut buku pedoman beternak yang diterbitkan dinas kami, pola pemberian makanan seperti itu menyalahi aturan dan bisa mempengaruhi pertumbuhan ternak,” tukas petugas.
Si peternak sapi merasa jangkel atas jawaban petugas yang sok tahu itu. Kepada petugas berpakaian dinas tersebut, dia berkata akan memperbaiki pola makan ternaknya, sambil merogoh kocek dan menyerahkan uang Rp 10.000. Si petugas pun langsung pamit pergi meninggalkannya dengan uang sepuluh ribu rupiah di tangannya.
Selang sebulan kemudian, petugas pemerintah yang sama datang lagi untuk mempermasalahkan hal yang sama pula. Peternak menjelaskan, bahwa sekarang sapi-sapi miliknya sudah diberinya makan yang enak-enak. Namun, petugas pemerintah itu malah marah.
“Kamu ini bagaimana, dimana-mana rakyat hidup susah, tapi sapi kamu malah diberi makanan yang enak-enak,” katanya.
Namun, setelah diberi uang sepuluh ribu rupiah, petugas pemerintah itu pun berlalu. Tapi, sebulan kemudian, dia datang lagi. Dengan lagaknya dia berkata harus mengecek secara teliti tentang makanan sapi-sapi itu untuk bahan laporan kepadaatasannya
“Saya pusing, Pak. Dikasih makan itu salah, dikasih makan ini juga salah. Akhirnya setiap sapi saya beri uang sepuluh ribu rupiah agar mereka membeli sendiri makanan kesukaannya masing-masing. Kalau bapak ingin tahu, cek sendiri apa yang mereka makan di luaran sana,” ujar si peternak bernada jengkel.
Mendengar kata-kata peternak itu, si petugas memilih ngeloyor pergi dengan raut muka tak nyaman. Tentunya, kali ini dia pergi tanpa uang Rp 10.000 seperti yang sudah-sudah.(***)

Pangeran Paku Payung

“Suatu negara akan menghadapi kenyataan betapa sulitnya mencari pemimpin yang telinganya tetap diarahkan ke bawah”.(Winston Churchil)

SEORANG rakyat melapor kepada Sang Raja bergelar Pangeran Ratu Payung di sebuah kerajaan yang nama dan tempatnya sangat dirahasiakan, karena daerah bagian selatan sedang dilanda bencana alam. Pangeran Paku Payung langsung mengirimkan bantuan secapatnya berupa makanan, obat-obatan dan sekelompok insinyur untuk membangun permukiman baru bagi warga yang kehilangan tempat tinggal.
Seorang rakyat lagi melapor, daerahnya di bagian utara sedang kekurangan guru, sehingga banyak anak tak sekolah dan menjadi tolol. Pangeran Paku Payung langsung mengirimkan guru-guru untuk memenuhi kebutuhan pendidikan di daerah itu.
Seorang rakyat melapor lagi, di daerahnya di bagian timur pengangguran membludak, karena lapangan pekerjaan minim. Pangeran Paku Payung langsung meluncurkan program padat karya dan membuka lapangan kerja baru untuk menampung tenaga kerja dalam jumlah besar.
Msih seorang rakyat juga melapor, daerahnya di bagian barat banyak terjadi kasus kriminal. Para garong, perampok, maling, penipu kelas teri hingga yang berdasi telah meraja lela. Pangeran Paku Payung langsung menambah petugas keamanan ke daerah itu untuk menumpas kejahatan.
Terakhir, melaporlah seorang pejabat negara, bahwa korupsi telah terjadi di setiap lini kehidupan dan amat merugikan kerajaan. Pajak dan upeti ditilep di tengah jalan. Laporan keuangan dan belanja selalu menguap lebih dari 30 %. Keadilan diperjualbelikan. Pungli alias pungutan liar berkembang biak dan duit menjadi pelican yang baik dalam urusan birokrasi.
Mendegar laporan pejabatnya itu, Pangeran Paku Payung terdiam sejenak dan merenung. Hatinya berkata, bagaimana mungkin kebobrokan-keboborokan itu bisa terlepas dari pengawasannya. Padahal dia telah berusaha memimpin secara arif dan bijaksana untuk dipertanggungjawabkan kepada rakyat dan Tuhan Yang Maha Esa Penguasa Alam Semesta Raya.
“Saya perintahkan bentuk pasukan khusus bersenjata lengkap untuk membasmi “tikus-tikus”(sebutan untuk koruptor-red) itu. Mereka pantas dikirim peti mati,” tegasnya, sembari beranjak dari singasana menuju ruang pribadinya guna meminta petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa tentang titah dan keputusan yang telah diambilnya.
Sementara itu para pejabat kerajaan yang ada di balairung kerajaan bergeming, ada yang saling pandang, kasak-kusuk dan clingak-clinguk dengan wajah pucat pasi penuh aroma ketakutan. Kalaupun ada yang mencoba senyum, tapi pahit. Kalaupun ada yang mencoba tertawa, nadanya sumbang.(***)