14 Desember 2012

Bercermin ke China

“Satu contoh yang baik, lebih mampu menggerakkan dunia, ketimbang seratus doktrin”. (Henry Miller) PEMERINTAH China menerapkan larangan perilaku khusus dan sambutan yang mewah untuk para pejabat tinggi. Dengan peraturan baru ini, tidak akan ada lagi karpet merah, kemeriahan anak-anak dan rangkaian bunga setiap menyambut pemimpin Negeri Tirai Bambu. Larangan ini dikeluarkan usai pertemuan 25 orang pemimpin tinggi (Politburo) Partai Komunis China. Dalam pernyataan pemerintah, para pejabat juga dilarang membacakan pidato panjang yang tidak ada isinya. Sebelumnya dalam beberapa tahun terakhir, para pejabat di Partai Komunis China, bahkan yang terendah sekalipun, mendapatkan perilaku istimewa di tengah masyarakat. Mereka disupiri kemanapun pergi dengan mobil mewah dan disambut bak raja, lengkap dengan puluhan anak-anak sekolah yang bersorak sambil mengibarkan bendera kecil. Para pejabat pemerintah dan partai juga sering berkompetisi siapa yang paling besar kantor pemerintahnya. Persaingan mereka termasuk dalam penyajian prasmanan besar hasil bumi rakyat, menunjukkan kekayaan daerahnya. Kelakuan para pejabat Partai Komunis membuat jengah warga yang melancarkan kritikan keras, terutama di situs media sosial Weibo. Akhirnya, pemerintahan baru yang dipimpin oleh Xi Jinping membuat kebijakan-kebijakan yang dinilai populis. Dua minggu sejak dipilih sebagai Presiden, Xi hanya menyampaikan dua buah pidato tanpa teks di televisi nasional. Li Keqiang, yang diprediksi akan diangkat Perdana Menteri pada Maret 2013 nanti, dan Wang Qishan, Ketua Lembaga Anti Korupsi baru China, mengadakan pertemuan yang melarang seluruh anggotanya menyampaikan pidato yang panjang, namun bertele-tele, tanpa makna. Bahkan, pada sebuah seminar, Wang juga menegur seorang profesor yang memanggilnya dengan sebutan "Sekretaris Wang yang terhormat. Ini adalah bukti bahwa kepemimpinan Partai Komunis China yang baru, ingin menghilangkan kesan arogansi dari para anggotanya. Selain itu, para pemimpin partai juga dilarang datang ke upacara peresmian, gunting pita, groundbreaking atau acara-acara lainnya yang dinilai membanggakan diri. Bepergian ke luar negeri bagi pejabat juga akan dikontrol dengan ketat. Pejabat juga tidak lagi boleh menggunakan voorijder atau menutup jalan raya saat bepergian. Bagaimana dengan di Indonesia? Saya tidak berani berkomentar.(**)

Anak Siapakah Mereka?

“JIka orang tua sudah tidak mampu menjaga anak-anaknya, negara akan menghadapi kesulitan untuk menjaga anak-anak itu di jalanan”. (Penulis) KARENA alasan tekanan ekonomi, broken home, diusir dari rumah dan jadi gelandangan, konflik politik berkepanjangan yang menyulut perang saudara, hingga tingginya biaya sekolah, memaksa anak-anak harus bekerja untuk hidup dengan bayaran yang rendah. Di Afrika Bawah-Sahara, merupakan negara yang banyak mempekerjakan anak-anak. Lebih dari 40 persen anak-anak umur 5-14 tahun bekerja untuk gaji Rp50 ribu per minggu. Fakta yang juga didukung oleh data di seluruh dunia, ILO (International Labour Organization) lembaga PBB yang menanganai masalah ketenagakerjaan/buruh mencatat sebesar 32 persen dari 220 juta anak-anak di dunia sudah bekerja. Di negara Liberia seperti halnya negara Afrika lainnya, negara ini tidak memiliki data rata-rata jam kerja harian mereka. Alasannya karena sebagian 85 persen warganya yang berjumlah 3 juta jiwa itu tidak memiliki pekerjaan. Alasan lain, banyak para pencari data untuk angka-angka statistik tidak ada yang berani mendekati tentara anak-anak yang tengah bertempur di medan perang sipil. Juga tidak berani bertanya berapa jam kerja mereka di jalanan kota Monrovia yang sering terjadi pertumpahan darah, akibat perang antar geng. Nah, di negara Nauru, sebuah negara yang berpenduduk sekitar 9.000 jiwa dengan luas wilayah sebesar 20 km persegi ini tergolong unik. Sebagai salah satu negara terkecil di dunia, namun memiliki tingkat pengangguran tertinggi hingga 90 persen.(**)