07 Juli 2009

Korupsi vs Hukum

“Hukum dihormati bukan karena dia adalah hukum, tetapi karena dia mengandung keadilan.” (Henry Ward Beecher)

KASUS korupsi seperti tak pernah ada habisnya dan mencidrai rasa keadilan masyarakat. Masih ingat kasus korupsi pada jamannya Presiden Mobutu di Zaire. Kasus korupsi di Uni Soviet ketika korupsi terjadi secara structural karena didukung oleh birokrasi dan peraturan resmi elit politik. Negara yang pernah dijuluki sebagai surganya kaum buruh dan tani ini pun ambruk. Di Filipina, korupsi juga menggurita di era Presiden Marcos. Di Jepang korupsi juga terungkap di jalannya Perdana Menteri Tanaka, dan masih banyak lagi negara lain. Termasuk di Indonesia, negara kita yang katanya gemah ripah loh jinawi toto tentrem karto raharjo.
Para penggiat anti korupsi berpendapat, bahwa kejahatan yang satu ini disebabkan oleh karena penghasilan yang tidak mencukupi untuk membiayai hidup mewah. Walaupun, di banyak kasus banyak orang-orang yang hidupnya secara ekonomi mapan, masih juga melakukan korupsi. Konon, korupsi juga bisa terjadi karena tidak efesiennya pelayanan birokrasi yang terlaku kompleks dan berbelit-belit. Fatwa haram dan undang-undang, ternyata tidak cukup untuk memberantas korupsi.
Faktanya, memang tidak ada satu pun negara di dunia ini yang bisa memberantas korupsi hingga nol persen. Tetapi ada negara-negara yang yang melegakan hati rakyatnya karena keseriusannya memerangi korupsi seperti China, Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Malaysia, Jepang, Filipina dan termasuk Indonesia ketika banyak pejabat yang digelandang ke sel. Mereka telah melakukan upaya-upaya hukum secara nyata dengan berfungsinya parlemem, peradilan hingga pers. Sehingga kasus-kasus korupsi mencapat pengawasan secara luas. Bahkan di Negara Swedia ada sebuah lembaga independent yang dinamakan Ombudsman tempat rakyat melakuakn pengaduan terhadap kasus-kasus korupsi, danpenyimpangan dalam birokrasi pemerintahan. Ombudsman ini dianggap sebagai lembaga paling angker di Swedia, khususnya bagi para koruptor karena diterapkan dengan baik dan jauh dari intervensi politik dan pemerintah.(***)

W A N I T A


“Manakala baik wanita, baiklah Negara. Manakala wanita rusak, maka rusaklah Negara”. (Muhammad SAW)

SEJARAH mencatat, kaum wanita kerap mendapatkan perlakuan yang buruk sejak jaman dahulu kala. Misalnya pada jaman Jahiliyah, wanita mengalami era penindasan yang tak terkira. Bayi dikubur hidup-hidup karena diketahui berjenis kelamin perempuan. Bisa ditebak, pelakunya adalah kaum pria. Mengapa kaum wanita harus dihormati?
Apapun alasannya, wanita harus mendapatkan perlakuan yang sama dan pantas untuk dijunjung tinggi dan dihormati hingga muncul kalimat, surga berada di bawah telapak kaki Ibu. Data di Unicef, badan milik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani masalah anak ini menyebutkan, bahwa jumlah kaum lelaki yang mati akibat peperangan lebih kecil jika dibanding dengan jumlah perempuan yang mati akibat melahirkan. Selanjutnya, jika mengutip buku berjudul “The Progress of Nation 1966, juga menyebutkan, bahwa kematian ibu akibat melahirkan di Indonesia mencapai 650 orang dari 100.000 kelahiran.
Sementara itu ILO, badan milik PBB yang menangani masalah buruh inio pernah melakuakn riset terhadap kaum wanita pedesaan di Asia termasuk Indonesia. Hasil risetnya menyebutkan, bahwa sebagian besar kaum wanita sudah melakukan aktivitas rumah tangga dan kegiatan ekonomi sejak matahari belum terbit, hingga matahari telah tenggelam. Lalu, masih pantaskah jika kaum lelaki menganggap dirinya itu gagah, perkasa, kokoh, kuat, tampan, dan berkuasa? Sementara itu banyak wanita yang membantu suaminya mencari penghasilan dengan bekerja. Sepulangnya bekerja, wanitamasih ngurus rumah, ngurus anak, ngurus dapur hingga ngurus suami termasuk memberikan pelayanan pada malam hari.(***)

C O N T R E N G

“Di dalam negara yang memiliki pemerintahan baik, kemiskinan adalah sesuatu yang memalukan. Di negara yang punya pemerintahan buruk, kekayaan merupakan sesuatu hal yang memalukan”. (Confusius)

NOTHING tobe gotten without pain, except poverty. Tidak ada sesuatu hal pun yang dapat diperoleh tanpa adanya kerja keras, kecuali kemiskinan semata.
Contreng Nasional sudah dilakukan bangsa ini guna memilih pemimpin bangsa untuk lima tahun ke depan. Jika sejenak memasang kuping mendengar jeritan rakyat jelata, lebih banyak lagu apatis ketimbang nada optimis. Kata mereka, kehidupan tak akan berubah. Siapa pun pemimpinnya (seperti yang sudah-sudah), sekolah, kesehatan dan harga sembako tetap akan mahal. Di jalan-jalan raya, orang-orang bermobil mewah tetap saja akan hilir mudik, di hotel-hotel mewah mereka berpesta pora menghamburkan rupiah. Padahal masih banyak orang yang keleleran kelaparan, tak punya rumah, dan pakaiannya compang-camping, hidup tak menentu di kawasan kumuh dan tak sanggup mencicipi mahalnya pendidikan, mahalnya harga obat, tubuh tak bergizi, badanya kurus kerempeng, otaknya tolol. Lagu pesimis rakyat jelata, tetap berkumandang indah entah sampai kapan. Masih adakah suara optimis?
Tentu saja masih ada. Tapi bukan suaranya rakyat jelata, melainkan suara para elit politik yang selalu jual bacot rakyat akan makmur jika mencontreng si A, rakyat akan sejahtera jika mencontreng si B, dan rakyat akan sentosa jika mencontreng si C. Adalah lagu usang yang sudah sejak dahulu kala dinyanyikan para elit politik. Padahal…
Baru-baru ini PBB menyajikan catatan kelam tentang tragedi kemanusiaan, bahwa sebesar 150 juta anak di dunia mengalami kekurangan gizi, miskin pendidikan, miskin harta dan menjadi alat eksploitasi orang-orang yang miskin moral. Nah, khusus di Indonesia jumlah penduduk miskin relative yang berpenghasilan kurang dari US$ 2 per hari menurut standar Bank Dunia, jumlahnya mencapai 60 persen. Disebutkan pula, bahwa sekitar 20-30 persen dari kelompok ini terkungkung dalam kemiskinan absolute, kurang sandang, kurang pangan, kurang papan, kurang air bersih, kurang pendidikan, kurang kesehatan dan kurang alat transportasi. So? Marilah kita berharap, atau hanya sekedar bermimpi.(***)